Tuesday, May 10, 2016

Hak waris dalam syariat islam


Ahli Waris adalah orang-orang yang karena sebab (keturunan, perkawinan/perbudakan) berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka orang yang meninggal dunia.
Tetapi jangan salah, karena tidak semua yang dikategorikan keluarga adalah otomatis tergolong ahli waris. Dari sisi hubungan kekeluargaan, terdapat dua macam perbedaan status hak waris: 1. Ahli Waris: Keluarga yang saling mewarisi. 2. Ulul Arhaam: Mempunyai hubungan keluarga tapi tidak saling mewarisi langsung; atau dengan kata lain, dia mewarisi jika tidak ada golongan Ahli waris.

1. Syarat Menerima Waris

  1. Pewaris telah meninggal. Orang yang mewariskan hartanya telah meninggal dunia baik secara hakiki maupun secara hukum. Dasarnya adalah firman Allah Ta'ala: إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أُخۡتٌ۬ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَ‌ۚ " ... jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,..."(Q.S.An-Nisa: 176). Kematian hakiki dapat diketahui dengan menyaksikan langsung atau dengan berita yang sudah masyhur, atau dengan persaksian dua orang yang dapat dipercaya. Adapun kematian secara hukum seperti orang yang menghilang dan pencariannya sudah melewati batas waktu yang ditentukan, maka kita hukumi ia sudah meninggal berdasarkan dugaan yang disejajarkan dengan keyakinan (kepastian) manakala kepastian tidak didapatkan, dasarnya adalah perbuatan para sahabat.
  2. Ahli waris masih hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal walaupun hanya sekejap, baik secara hakiki maupun secara hukum. Hal ini dikarenakan Allah menyebutkan dalam ayat waris hak-hak ahli waris dengan menggunakan huruf lam yang menunjukkan hak milik dan hak milik tidak mungkin ada kecuali untuk orang yang masih hidup. Masih hidup secara hakiki diketahui dengan menyaksikan langsung, atau dengan berita yang sudah masyhur atau dengan persaksian 2 orang yang dapat dipercaya. Adapun secara hukum, contohnya janin mewarisi harta pusaka jika jelas keberadaannya ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal, walaupun janin tersebut belum bernyawa. Dengan syarat bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup.
  3. Mengetahui sebab menerima harta warisan. Karena warisan didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu.Seperti bertalian sebagai anak, orang tua, saudara, suami-isteri, wala' dan yang semisalnya. Jika kita tidak dapat memastikan kriteria ini, maka kita tidak dapat menetapkan hukum-hukum yang didasarkan kepada kriteria itu. Sebab diantara syarat penetapan hukum adalah keakuratan sasarannya.Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu kecuali setelah mengetahui adanya sebab dan syaratnya, serta tidak ada penghalangnya.

2. Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki:

  1. Anak Laki-laki
  2. Cucu Laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan seterusnya, buyut laki-laki.......
  3. Bapak / ayah
  4. Kakek (bapaknya bapak) dan seterusnya ke atas
  5. Saudara laki-laki sekandung.
  6. Saudara laki-laki sebapak.
  7. Saudara laki-laki se-ibu.
  8. Keponakan laki-laki sekandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung).
  9. Keponakan laki-laki sebapak (anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak).
  10. Paman sekandung (saudara sekandung bapak).
  11. Paman sebapak (saudar sebapak-nya bapak).
  12. Sepupu laki-laki sekandung (anak laki-laki paman sekandung).
  13. Sepupu laki-laki sebapak ( anak laki-laki paman yang sebapak).
  14. Suami.
  15. Laki-laki yang memerdekakan budak (al-mu'tiq).

3. Ahli Waris Dari Golongan Perempuan: 

  1. Anak perempuan.
  2. Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki).
  3. Ibu / bunda / mama / mami / emak /biyung dan sejenisnya.
  4. Nenek dari ibu (ibunya ibu), dan seterusnya ke atas.
  5. Nenenk dari bapak (ibunya bapak), dan seterusnya ke atas.
  6. Saudara perempuan sekandung.
  7. Saudara perempuan sebapak.
  8. Saudara perempuan se-ibu.
  9. Isteri.
  10. Perempuan yang memerdekakan (al-Mu'tiqah).

4. Ulul/Dzawil Arham
Adalah Keluarga Yang Tidak Mendapat Bagian warisan (fard atau 'ashabah) Jika Masih Ada Ahli Waris Diatas, Mereka terdiri dari:
  1. Kakek dari garis ibu (bapaknya ibu).
  2. Neneknya ibu (ibu punya bapak punya ibu).
  3. Cucu dari anak perempuan; baik jenisnya cucu laki-laki ataupun perempuan.
  4. Keponakan perempuan (anak saudara laki-laki sekandung, sebapak ataupun se-ibu).
  5. Keponakan perempuan (anak saudara perempuan sekandung atau se-ibu).
  6. Paman se-ibu (saudaranya bapak satu ibu lain bapak).
  7. Saudaranya kakek se-ibu.
  8. Sepupu perempuan (anak dari paman: sekandung, sebapak/se-ibu).
  9. Bibi / tante (saudara perempuannya bapak, bibinya bapak, bibinya kakek, seterusnya ke atas.)
  10. Mamak dan mami (saudara laki-laki dan perempuan dari ibu; baik sekandung, sebapak, atau se-ibu).
  11. Mamak dan mami-nya bapak, mamak dan mami-nya kakek.
  12. Anaknya paman se-ibu, sampai ke bawah.
  13. Anaknya bibi walaupun jauh.
  14. Anaknya mamak dan mami walaupun jauh.
Para ulama berbeda pendapat tentang posisi dzawil arham sebagai ahli waris:
1. Mereka tidak mendapatkan warisan (Pendapat Malik dan Asy-Syafi'i).
2. Mereka mendapatkan warisan dengan syarat selama tidak ada ahli waris yang mendapat bagian 'ashabah dan fardh. (Pendapat Abu Hanifah, Ahmad, pendapat ini juga diriwayatkan dari 'Umar, 'Ali, Abu Ubaidah, 'Umar bin Abdul 'Azis, 'Atha' dll. Inilah pendapat yang benar berdasarkan firman Allah Ta'ala: 
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُہُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٍ۬ فِى كِتَـٰبِ ٱللَّهِ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمُۢ ...
... Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya [daripada yang kerabat] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Anfal: 75).

Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Putera saudara perempuan suatu kaum termasuk kaum itu sendiri." (H.R. Bukhari (3528) dan Muslim (no.1095)).
Demikian juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.
"Paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi (mayit) yang tidak mempunyai ahli waris. Dia juga yang membayarkan diyatnya dan mewarisinya." (H.R. Ahmad (IV/131) Abu Dawud (2899) dan Ibnu Majah (2737).
Nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah mencantumkan bahwa dzawul arhaam mendapat bagian warisan, baik dijelaskan secara global seperti ayat di atas maupun dengan menyebutkan individu mereka sebagaiamana yang tercantum dalam hadits, maka dari sini, pendapat yang mengatakan mereka mendapatkan bagian waris, terbagi kepada 3 pendapat lagi:
1. Berdasarkan kedekatan derajat perorangan. Barangsiapa diantara mereka yang lebih dekat posisinya dengan ahli waris, maka merekalah yang lebih berhak mendapatkan warisan dari si mayit dari jalur manapun.
2. Berdasarkan jihat (jalur) yang paling dekat. Ini pendapat Abu Hanifah, ia menetapkan 4 jalur: 1.Jalur bunuwwah (anak-anak dan seterusnya), 2. Jalur ubuwwah (ayah dan seterusnya ke atas), 3. Jalur ukhuwwah (saudara-saudara), dan 4. 'umummah (paman). Jika jalur yang lebih dekat mendapat waris, maka yang lebih jauh tidak mendapatkan apa-apa.
3. Berdasarkan tanziil (mempposisikan) yakni masing-masing dzawil arhaam turun menempati posisi ahli waris yang menghubungkan mereka dengan mayit, lantas harta warisan dibagi diantara ahli waris yang menghubungkan mereka dengan mayit. Setelah itu barulah hasilnya diberikan kepada dzawil arhaam yang turun menempati posisi mereka. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad.

5. Urutan Golongan Yang Berhak Menerima Waris:

Jika ketika harta waris hendak dibagikan, sementara golongan ahli waris begitu banyaknya, kepada golongan manakah pembagian itu diprioritaskan ? mengenai masalah ini terjadi beberapa perbedaan pendapat para ulama karena tidak adanya nash yang tegas, berikut saya paparkan beberapa diantaranya:

urutan penerima waris
Urutan Penerima Waris

6. Ikhtisar Ilmu Fara'idh Ringkas                                                              

Tabel ilmu fara'idh
Ilmu Fara'idh Dalam Ikhtisar
Akan lebih jelas dalam penjelasan ahli waris ini akan di bahas di ilmu faroid

No comments:

Post a Comment