Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur
segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk,
idah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat
membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini
antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan
kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan rumah
tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia
sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan
penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam
keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi
segala penderitaan baik yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh
suaminya, baik cerai biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh
langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk
sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai itu
disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah
selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil
maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu,
iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk
menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami
istri menyesali perceraian mereka, mereka bias rujuk atau kembali ke ikatan
pernikahan mereka yang lama.
Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal
dari kata ahadda, dan kadangbisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari
kata hadda. Secara evitimologis (lughawi) ihdad berarti al-man’u(cegahan
atau larangan)sedangkan menurut Abdul Mujib dan kawan-kawannya, bahwa yang
dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal
mati oleh suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan dan sepuluh hari yang disertai
dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek mata,berhias diri,keluar
rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.
Sedangkan menurut pandangan syara’ ihdad adalah
meninggalkan pakaian yang dicelup warna yang dimaksud untuk perhiasan,
sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain itu ditenun atau kain tiu
menjadi kasar
Tetapi menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati
memberikan devinisi ihdad sebagaimana berikut.
Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias
diri dibadan.
Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah Zuhaili
memberikan definisi sebagai berikut.
Ihdad adalah meninggalkan harum-haruman, perhiasan,
celak mata, dan minyak. minyak yang mengharumakan atau tidak.
Menurut pengarang kitab Hasyiyatani bahwa ihdad :
Yang artinya:”secara bahasa larangan, secara syara’
larangan yang ditentukan untuk berhias diri dan memakai pakain yang dicelup
atau pakai pewarna dan sesasamanya
Imam Hanafi
devinisi ihdad adalah:
Ihdad adalah suatu ungkapan yang didivinisikan dengan
menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman, memakai celak,
berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya.
Imam Maliki
mendevinisikan ihdad adalah:
Ihdad adalah meninggalkan semua hiasan termasuk juga
cincin, yang dibuat berhias oleh seorang perempuan seperti minter, celak
wangi-wangian dan baju yang di warnai.
Menurut Imam
Ahmad Bin Hanbal sebagaiman:
Ihda adalah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya untuk menjahui berhias diri baik dari pakaian maupun dari
wangi-wangian.
No comments:
Post a Comment