Zaman sekarang perceraian semakin meningkat dengan tajam. Penyebabnya bermacam-macam diantaranya dengan kata talak, li’an, fasakh, khuluk dan lainnya. Setelah jatuh talak maka perempuan akan mendapatkan masa iddah, dan dimasa iddahlah suami dapat merujuk kembali istri jika ingin kembali hidup bersama lagi.
Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kata berarti kembali. Orang yang rujuk kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqih menurut al-Mahally ialah:
الرّدالى النكا ح
من طلا ق غير با ئن ف العد ة
“Kembali dalam hubungan perkawinan
dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah”.
Rujuk yang
berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai yang artinya
menurut KBBI adalah kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak
satu, talak dua, dalam masa iddah. Definisi yang dikemukakan KKBI tersebut
secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh,
meskipun redaksional sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut terlihat
beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama
rujuk itu. (Syarifuddin, 2006: 337).
Pertama: kata atau ungkapan
“kembalinya suami kepada istri”. Hal ini mengandung arti bahwa diantara
keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali
perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian.
Kedua: ungkapan atau
kata “yang telah ditalak dalam bentuk rajiyy”, mengandung arti bahwa
istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus (ba’in).
Hal ini menunjukkan bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah
dicerai tetapi tidak dalam bentuk raj’iyy,
tidak disebut rujuk.
Ketiga: kata atau ungkapan
“masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama
istri masih berada dalam iddah. (Syarifuddin, 2006: 338).
Dalam satu sisi rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan perkawinan
yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan perkawinan. Kalau membangun
kehidupan perkawinan pertama kali disebut perkawinan, maka melanjutkannya
disebut rujuk. Hukum rujuk dengan demikian sama dengan hukum perkawinan, dalam
mendudukkan hukum asal dari rujuk itu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat. Dalil yang digunakan jumhur ulama itu
ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
الطّلا ق مرّ تا نِ فاءمسا كٌ بمعر و فٍ اوتسريح باءحسا نٍ
“Thalaq itu ada dua kali sesudah itu tahanlah
dengan baik, atau lepaskanlah dengan baik”.
Demikian pula firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 228:
وبعولتهنّ أحقّ بردّ هنّ فى ذلك إن اراد واإصلا حاً
“Suaminya lebih berhak untuk kembali kepadanya
dalam hal itu jika mereka hendak berdamai”. (Syarifuddin, 2006: 339).
Dalil dalam hadis Nabi diantaranya
adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Umar Muttafaq alaih yang bunyinya:
طلقت امرأتى وهى حا ئض فسآل عمر النبيّ الصلى الله على وسلّم فقال مر
فليراجعها
“Ibnu Umar berkata: “saya
menceraikan istri saya sedang dalam haid, maka umar menanya Nabi SAW. tentang
itu”. Nabi bersabda: “suruhlah dia merujuk istrinya”.
Kata
Imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua mengandung maksud yang
sama yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah diceraikannya. Tidak ada
perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk rujuk. Adanya perintah Nabi
supaya Ibnu Umar rujuk adalah karena sebelumnya dia menalaknya dalam keadaan
haid. Oleh karena itu hukum rujuk itu adalah sunat. (Syarifuddin, 2006: 340).Rujuk dapat dilakukan suami apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
·
Bekas istri, sudah
pernah dicampuri. Dengan demikian, perceraian yang terjadi antara suami dan
istri yang belum pernah dicampuri tidak memberikan hak rujuk kepada bekas
suami.
·
Talak yang
dijatuhkan suami tanpa pembayaran iwad dari pihak istri. Dengan demikian,
apabila suami menjatuhkan talak atas permintaan istri dengan pembayaran iwad,
baik dengan jalan khuluk atau terpenuhinya ketentuan-ketentuan ta’lik, tidak
berhak merujuk bekas istri.
·
Persetujuan istri
yang akan dirujuk. Syarat ini sejalan dengan prinsip sukarela dalam perkawinan.
(Basyir, 2007: 100)
Sedangkan rukun-rukunnya ialah:
·
Ada suami yang
merujuk atau wakilnya;
·
Ada istri yang
dirujuk dan sudah dicampurinya;
·
Kedua belah pihak
sama-sama suka.
·
Dengan pernyataan
ijab dan kabul. (Abidin & Aminuddin, 1999: 154).
No comments:
Post a Comment