Pada hakikatnya ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan untuk mengikatkan dirinya dengan seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai suami yang sah, Sedangkan qabul adalah pernyataan menerima dengan sepenuh hati untuk menjadikan seorang perempuan tersebut menjadi istrinya yang sah.
Sebagai contoh ijab dari wali perempuan dengan ucapan “saya nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama....dengan maskawin....”. Dan mempelai pria atau wakilnya menjawab dengan perkataan (Qobiltu nikakhaha) “saya terima nikahnya .....dengan maskawin.....(tunai/....)”.
Mengenai akad nikah yang berupa ijab dan qabul antara lelaki yang melamar dan wanita yang dilamar para ulama sepakat bahwa hal tersebut (ijab dan qabul) merupakan salah satu rukun dari pernikahan.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seseorang yang akan menikah untuk mengucapkan akad nikah yang berupa ijab yang dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya dengan ketentuan mempelai pria harus memberikan kuasa yang tegas dan secara tertulis bahwa ia (calon mempelai pria) mewakilkan akad pernikahannya pada wakilnya.
Dan perlu diketahui bahwa ijab dan qabul dalam sebuah perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan, akan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu perjanjian yang kuat yang bukan hanya disaksikan oleh orang yang menghadirinya akan tetapi disaksikan oleh allah.
kemudian mengenai akad pernikahan memang tidak diatur dalam UU perkawinan, namun KHI secara jelas telah mengaturnya yaitu pada pasal 27, 28, dan 29 yang tentunya semuanya berdasarkan kitab-kitab fiqh yang ada.
Adapun rumusan pasal tersebut adalah:
Pasal 27
Ijab dan qabul antara wali dan mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan secara sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain
Pasal 29
1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi
2) Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan oleh pria lain dengan ketentuan mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
b. Lafaz yang digunakan dalam ijab qabul
diperbolehkan menggunakan lafal al-hibah dengan syarat harus disertai dengan penyebutan maskawin. Dan beliau berpendapat bahwa selain lafal-lafal tersebut maka akad dihukumi tidak sah.
Sementara itu, Imam Syafi’i berpendapat redaksi akad harus menggunakan lafal al-tazwij dan al-nikah serta lafal-lafal bentukannya saja, selain dari kedua lafal tersebut maka akad nikah dianggap tidak sah.
Selain itu mazhab Imamiyah mengatakan bahwa ijab harus menggunakan lafal zawwajtu atau ankahtu dan harus dalam bentuk madhi, akad tidak diperbolehkan menggunakan lafal selain bentuk madhi karena inilah yang memberi kepastian.
Dalam hal pelaksanaan akad ulama Imamiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan kesegeraan dalam melaksanakannya, maksudnya qabul harus dilakukan segera setelah ijab dan tidak terpisah (dengan perkataan lain).
Sementara itu Imam Malik berpendapat bahwa pemisahan yang sekedarnya tetap diperbolehkan, seperti dipisahkan oleh khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya.
Dan perlu diketahui bahwa berdasarkan hukum asalnya ijab itu datangnya dari pihak perempuan sedangkan qabul datangnya dari pihak laki-laki, andaikata qabul didahulukan di mana pengantin laki-laki yang mengatakan pada wali dan wali menjawab atau menerima pernyataan tersebut (qabul) Imamiyah dan mazhab tiga lainnya menyatakan sah, sedangkan Imam Hambali mengatakan tidak sah.
c. Syarat Bagi Kedua Pihak Yang Melakukan Akad Nikah
Ulama sepakat mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan suatu akad pernikahan yaitu: berakal dan baligh, selain itu disyaratkan pula bahwa kedua mempelai harus terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat keduanya diharamkan untuk menikah, baik karena disebabkan oleh adanya hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen atau sementara.
Syarat yang selanjutnya yaitu dalam melakukan akad harus pasti dan jelas orangnya, dan syarat yang terakhir ulama sepakat tidak diperbolehkan adanya paksaan dalam melaksanakan akad, kecuali Imam Hanafi yang memperbolehkan adanya paksaan dalam melakukan akad.
Syarat dan Ucapan Ijab Qabul Dalam Aqad Pernikahan
- Kedua belah pihak sudah tamyiz (bisa membedakan benar dan salah). Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil, maka pernikahan dinyatakan tidak sah.
- Ijab Qabulnya dalam satu majelis. Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul.
- Hendaknya ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. Misalnya, jika pengijab mengucapkan:"Aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku si Anu dengan mahar Rp.100,- lalu qabul menyambut:"Aku terima nikahnya dengan Rp.200,- maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan pengijab.
- Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan aqad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami, karena yang dipertimbangkan di sini ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap k
No comments:
Post a Comment