Wednesday, May 11, 2016

tata cara rujuk dan tujuan dari rujuk

 
Tata cara Rujuk dalam kompilasi hukum Islam pasal 167:
1.    Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
2.    Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3.    Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’i, apakah perempuan yang dirujuk itu adalah istrinya.
4.    Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5.    Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. (Kompilasi Hukum Islam, 2007:51)
 
 
     Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan dari manusia. Banyak orang yang menceraikan istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga segera setelah putus perkawinan timbul penyesalan disatu atau kedua pihak. Dalam keadaan menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam hidup perkawinan, namun akan memulai perkawinan baru menghadapi beberapa kendala dan kesulitan. Adanya lembaga rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
            Seseorang yang berada dalam iddah talak raj’iy di satu sisi diharuskan tinggal di rumah yang disediakan oleh suaminya, sedangkan suamipun dalam keadaan tertentu diam di rumah itu juga; disisi lain dia tidak boleh bergaul dengan suaminya itu. Maka terjadilah kecanggungan psikologis selama dalam masa iddah itu. Untuk keluar dari kecanggungan itu Allah memberi pilihan yang mudah diikuti yaitu kembali kepada kehidupan perkawinan sebagai semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan istri sampai habis masa iddahnya sehingga perkawinan betul-betul menjadi putus atau ba’in. (Syarifuddin, 2006: 340).

No comments:

Post a Comment