Tata cara Rujuk dalam kompilasi hukum Islam pasal 167:
1.
Suami yang hendak
merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain
yang diperlukan.
2.
Rujuk dilakukan
dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah.
3.
Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah
suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’i,
apakah perempuan yang dirujuk itu adalah istrinya.
4.
Setelah itu suami
mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5.
Setelah rujuk itu
dilaksanakan, pegawai pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum
dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. (Kompilasi Hukum Islam,
2007:51)
Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa
hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan
kesulitan dari manusia. Banyak orang yang menceraikan istrinya tidak dengan
pertimbangan yang matang sehingga segera setelah putus perkawinan timbul
penyesalan disatu atau kedua pihak. Dalam keadaan menyesal itu sering timbul
keinginan untuk kembali dalam hidup perkawinan, namun akan memulai perkawinan
baru menghadapi beberapa kendala dan kesulitan. Adanya lembaga rujuk ini
menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
Seseorang yang berada dalam iddah talak raj’iy
di satu sisi diharuskan tinggal di rumah yang disediakan oleh suaminya,
sedangkan suamipun dalam keadaan tertentu diam di rumah itu juga; disisi lain
dia tidak boleh bergaul dengan suaminya itu. Maka terjadilah kecanggungan
psikologis selama dalam masa iddah itu. Untuk keluar dari kecanggungan itu
Allah memberi pilihan yang mudah diikuti yaitu kembali kepada kehidupan
perkawinan sebagai semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan istri sampai
habis masa iddahnya sehingga perkawinan betul-betul menjadi putus atau ba’in.
(Syarifuddin, 2006: 340).
No comments:
Post a Comment