Thursday, May 12, 2016

Syarat dan sunnat dalam Aqiqah berserta hikmannya

Adapun beberapa syarat yang harus dilaksanakan sebelum melakukn Aqiqah
a)  Dari sudut umur binatang Aqiqah & korban sama sahaja.
b)  Sembelihan aqiqah dipotong mengikut sendinya dengan tidak memecahkan tulang  sesuai dengan tujuan aqiqah itu sebagai “Fida”(mempertalikan ikatan diri anak dengan Allah swt).
c)  Sunat dimasak dan diagih atau dijamu fakir dan miskin, ahli keluarga, jiran tetangga dan saudara mara. Berbeza dengan daging korban, sunat diagihkan daging yang belum dimasak.
d)  Anak lelaki disunatkan aqiqah dengan dua ekor kambing dan seekor untuk anak perempuan
kerana mengikut sunnah Rasulullah.
‘Aisyah Radhiallahu ‘anha katanya:
Maksudnya: "Afdhal bagi anak lelaki dua ekor kambing yang sama keadaannya dan bagi anak perempuan seekor kambing. Dipotong anggota-anggota (binatang) dan jangan dipecah-pecah tulangnya." (HR.AL-HAKIM).

Hal beberapa ini sunnat di lakukan ketika pelangsanaan Aqiqah
 1.  Membaca Basmalah
2.  Selawat ke atas nabi
3.  Menghadap kiblat
4.  Bertakbir
5.  Berdoa supaya diterima ibadah korban itu. 

Sejak seorang suami memancarkan sperma kepada istrinya, lalu sperma itu berlomba-lomba mendatangi panggilan indung telur melalui signyal kimiawi yang dipancarkan darinya, sejak itu tanpa banyak disadari oleh manusia, sesungguhnya setan jin sudah mengadakan penyerangan kepada calon anak mereka. Hal tersebut dilakukan oleh jin dalam rangka membangun pondasi di dalam janin yang masih sangat lemah itu, supaya kelak di saat anak manusia tersebut menjadi dewasa dan kuat, setan jin tetap dapat menguasai target sasarannya itu. Maka sejak itu pula Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada umatnya cara menangkal serangan yang sangat membahayakan itu sebagaimana yang disampaikan Beliau saw. melalui sabdanya berikut ini :

حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا *

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: apabila seseorang diantara kamu ingin bersetubuh dengan isterinya hendaklah dia membaca:

 

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Yang artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Wahai Tuhanku! Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami. Sekiranya hubungan aantara suami istri itu ditakdirkan mendapat seorang anak. Anak itu tidak akan diganggu oleh setan untuk selamanya
·    Riwayat Bukhari di dalam Kitab Nikah hadits nomor 4767.
·    Riwayat Muslim di dalam Kitab Nikah hadits nomor 2591.
·    Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Nikah hadist nomor 1012.
·    Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Nikah hadits nomor 1846.
    Disaat manusia sedang menjalani bagian kehidupan yang paling nikmat, mereka tidak boleh lupa diri. Mereka tidak boleh lupa kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaan hidup itu harus dimulai dengan berdzikir menyebut asma-Nya dan membaca do’a. Hal itu harus dilakukan, supaya kebutuhan biologis manusiawi tersebut dinilai sebagai amal ibadah. Ketika perbuatan yang sering menjadikan manusia lupa diri itu menjadi amal ibadah, disamping mereka mendapatkan pahala yang besar, juga apa saja yang ditimbulkan darinya akan menjadi buah ibadah. Oleh karena ibadah berarti menolong di jalan Allah, maka Allah Ta’ala akan selalu memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang beriman itu. Allah Ta’ala menyatakan hal tersebut dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ - محمد:47/7

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. QS:47/7.
Dengan sebab pertolongan Ilahiyah tersebut, sejak saat itu juga calon anak manusia itu akan mendapatkan perlindungan dari-Nya. Janin yang masih sangat lemah itu dimasukkan dalam benteng perlindungan-Nya yang kokoh sehingga

setan jin tidak mampu lagi mengganggu untuk selama-lamanya. Allah Ta’ala telah menyatakan pula dengan firman-Nya:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ - الحجر:15/42

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat. QS:15/42.
    Adakah kasih sayang yang melebihi kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, dan Rasulullah saw. kepada umatnya? Betapa seandainya tidak ada kasih sayang itu. Seandainya kita tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. usaha tandingan untuk menangkal bahaya besar yang tidak banyak disadarai oleh manusia itu, adakah kira-kira manusia dapat selamat dari ancaman setan jin yang sangat mengerikan itu?
Sementara sepasang anak manusia sedang asyik-asyiknya dalam keadaan lupa diri, ternyata setan jin telah menyiapkan jurus-jurus ampuh. Jika seandainya tidak ada penangkal tersebut barangkali dapat dipastikan, tidak ada seorang manusiapun mampu menyelamatkan diri dari serangan jin yang mematikan itu.
    Buah ibadah yang dilakukan oleh seorang laki-laki sebelum mendatangi istrinya itu disebut “Nismatul ‘ubudiyah” sedangkan kehidupan yang mendiami janin di dalam rahim seorang ibu itu disebut “Nismatul adamiyah”. Selama keberadaan nismatul adamiyah didampingi nismatul ‘ubudiyah, sampai kapanpun anak manusia tetap mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala. Dengan perlindungan itu setan jin tidak mempunyai kekuatan untuk menguasainya, kecuali manusia sendiri terlebih dahulu merusak sistem perlindungan tersebut dengan berbuat kemaksiatan dan dosa. Akibat dosa-dosa yang dilakukan itu dengan sendirinya nismatul ‘ubudiyah akan meninggalkan nismatul adamiyah, sehingga terbuka peluang bagi setan jin untuk menguasai manusia.
Ketika persetubuhan itu tidak dilandasi dengan nuansa ibadah, tidak diniati dengan niat yang baik, hanya memperturutkan dorongan hawa nafsu belaka, lebih-lebih lagi dilaksanakan dalam kondisi masih haram, sehingga sejak proses awal kejadian anak manusia itu tidak mendapatkan nismatul ‘ubudiyah, tidak mendapatkan sistem penjagaan malaikat untuk melindungi jalan hidupnya, maka sejak masih berbentuk janin itu, anak manusia tersebut sudah terkontaminasi anasir-anasir jin. Akibatnya, sejak itu pula menjadi sangat rentan mendapatkan gangguan setan jin, baik jasmani maupun ruhaninya. Jasmaninya dalam arti sangat rentan mendapatkan berbagai macam penyakit yang penyebabnya datang dari dimensi alam jin dan ruhaninya dalam arti baik kesadaran maupun karakternya rentan mendapatkan gangguan jin. Dengan demikian itu berarti, bagian kehidupan
anak manusia itu telah tergadai di dalam kekuasaan setan jin sehingga kapan saja jin dapat melaksanakan niat jahatnya. Allah Ta’ala telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ - المدثر:74/38

Tiap-tiap jiwa dengan apa yang telah diperbuatnya akan tergadai. QS:74/83.
    Akibat dari kesalahan tersebut, jiwa anak manusia bagaikan sudah digadaikan oleh orang tuanya kepada setan jin, maka dia membutuhkan tebusan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, berkat rahmat-Nya yang Agung, Allah Ta’ala masih memberikan kesempatan kepada setiap orang tua untuk menebus jiwa anaknya tersebut dengan melaksanakan sunnah Rasulullah saw yang disebut Aqiqoh.
    Sebagaimana pelaksanaan ibadah qurban – laki-laki dengan dua ekor kambing dan perempuan dengan satu ekor kambing – Aqiqoh juga demikian. Rasulullah saw.
sebagai seorang Rasul yang “Ma’shum” atau yang sudah mendapat jaminan keselamatan dan penjagaan dari akibat kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa, beliau melaksanakan Aqiqoh untuk putra-putrinya hanya selang tujuh hari setelah hari kelahirannya.
Hal itu berarti mengandung pelajaran bagi umatnya tentang demikian besarnya hikmah Aqiqoh.
    Jika diambil arti secara filosofi, tujuan aqiqoh juga seperti tujuan ibadah qurban, yakni melaksanakan tebusan atau yang disebut dengan istilah Fida’. Artinya; yang semestinya Nabi Ismail as. mati kerena saat itu Nabi Ibrahim as. mendapatkan perintah untuk menyembelihnya, namun kematian itu ditebusi oleh Allah Ta’ala dengan kematian seekor binatang qurban. Sehingga sejak itu, setiap hari Raya Qurban kaum muslimin disunnahkan untuk melaksanakan qurban dengan menyembelih binatang qurban. Seperti itu pula tujuan aqiqoh yang dilakukan oleh kedua orang tua terhadap anaknya. Yakni melaksanakan penebusan barangkali di saat kedua orang tua tersebut melaksanakan kuwajiban nafkah badan ada kehilafan. Maksudnya, bagian kehidupan anak yang sudah terlanjur tergadaikan kepada setan jin akibat kesalahan yang diperbuat, orang tua itu dianjurkan melaksanakan tebusan dengan melaksanakan aqiqoh bagi anak-anaknya.
Oleh karena itu hendaknya umat Islam melaksanakan aqiqoh untuk anak-anaknya dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Aqiqoh boleh dilaksanakan bersamaan pelaksanaan hajad-

hajad yang lain, hal itu karena daging aqiqoh dianjurkan dibagikan dalam keadaan matang. Boleh untuk walimatul ‘ursy, atau walimatul khitan umpamanya, asal dalam pelaksanaan itu tidak dibarengi dengan niat-niat yang tidak terpuji. Aqiqoh tidak boleh dibarengi dengan niat-niat yang dapat membatalkan pahala ibadah, misalnya untuk berbuat bangga-banggaan atau untuk perbuatan riya’ dan pamer, atau perbuatan yang sifatnya mubadzdzir menurut hukum agama islam, seperti pesta-pesta perkawinan yang sifatnya hanya untuk menunjukkan status dan kehormatan duniawi, hanya untuk pamer kesombongan dan bangga-banggaan. Hal itu dilakukan agar aqiqoh yang dilaksanakan itu benar-benar mencapai target sasaran. Menjadikan kafarot atau peleburan bagi dosa-dosa dan kesalahan yang telah terlanjur dilakukan oleh kedua orang tua.
    Jadi, salah satu hikmah aqiqoh adalah, disamping diniatkan untuk melaksanakan sunnah Rasul saw, juga dapat dijadikan media atau sarana bagi usaha penyembuhan orang yang telah terlanjur jiwanya tergadaikan kepada setan jin sehingga badannya  dihinggapi berbagai penyakit. Aqiqoh yang dilaksanakan itu bukan dalam arti kambing yang disembelih itu kemudian dipersembahkan kepada jin yang sedang memperdaya orang yang sakit sehingga hukumnya menjadi syirik. Hal tersebut sebagaimana yang disangkah oleh sebagian kalangan yang tidak memahami ilmunya. Namun dilaksanakan semata-mata melaksanakan syari’at agama. Dengan asumsi, bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba bukan untuk kepentingan Allah Ta’ala, tetapi pasti ada kemanfaatan bagi orang yang malakukannya.
 Hal itu bisa terjadi, karena secara sunatullah, Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa setiap amal kebajikan pasti dapat menghilangkan kejelekan, asal kebajikan tersebut dilaksanakan semata-mata melaksanakan perintah-Nya. Allah Ta’ala telah menegaskan dengan firman-Nya:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ  - هود:11/114

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. QS:11/114.

1 comment: