Arti riba dalam ekonomi islam (syariah) adalah tambahan yang diperoleh dengan cara yang tidak diperbolehkan oleh syariat. Yaitu tambahan harta dalam akad jual beli yang diperoleh dengan cara yang batil.
Sebelum membahasa lebih jauh tentang riba, penulis akan memperkenalkan dunia ekonomi islam sebagai pengantar dan tambahan wawasan kepada pembaca.
Pada
dasarnya, setiap kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dengan unsur
ekonomi. Ketika kita merasa lapar dan memutuskan untuk membeli makanan,
juga saat kita melihat dimedia massa kenaikan harga BBM dan bahan-bahan lainnya yang melambung tinggi, itulah ekonomi dari perspektif keseharian kita.
Setiap keputusan yang kita ambil akan menghasilkan konsekuensi, ini adalah gejala opportunity cost dalam ilmu ekonomi.
Secara sederhana, sebenarnya pembahasan yang ada dalam ekonomi itu hanya mencakup dua hal :
- Bagaimana caranya agar kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi
- Bagaimana membedakan apakah hal itu benar-benar kebutuhan (needs) atau hanya sekedar keinginan (wants)
Dari
dua persepsi diatas lah kemudian muncul berbagai macam paradigma,
teori, dan kajian. Pada akhirnya melahirkan banyak sekali aliran dalam
ilmu ekonomi.
Salah satu dari sekian
banyak aliran tersebut adalah ekonomi islam. Namun dalam hal ini,
penulis tidak sepakat jika menggunakan kata “aliran”. Karena secara
fundamental ekonomi islam adalah fitrah dan bukan aliran yang dibuat.
Artinya
ilmu yang membahas ekonomi dari perspektif islam telah ada sejak lama,
namun belum banyak yang mengkajinya. Masa depan ilmu ini ada ditangan
generasi muda saat ini, yang berperan sebagai pemegang tongkat estafet
dan pilar agama, bangsa, dan negara.
Sebenarnya,
ada begitu banyak perbedaan yang vital dan fundamental antara ekonomi
islam dan yang lainnya (konvensional). Namun dalam pembahasan kali ini,
kita akan memfokuskan kepada riba.
Bagaimana ekonomi konvensional memperlakukan riba, dan bagaiman Islam menilainya?
Asal Kata Riba
Riba berasal dari bahasa arab yaitu ziyadah, yang berati tambahan. Tambahan ini muncul dalam dua akad, baik jual beli maupun pinjam meminjam.
Di
era yang serba digital dan modern ini, ternyata banyak sekali
praktik-praktik yang mengandung riba, khususnya dalam ekonomi. Disinilah
kemudian perlu adanya kajian ulang agar supaya setiap kegiatan yang
dilakukan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai islam
(halalan-thayyibah).
Dasar Hukum Riba
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S.
Al-Baqarah: 278)
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. ” (Q.S.
Al-Baqarah: 276)
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa
(gila). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . (Q.S.
Al-Baqarah: 275)
Ketiga ayat diatas
memberikan gambaran kepada kita tentang riba baik dari segi larangan dan
akibatnya. Maka dengan adanya ayat-ayat tersebut dalam Al qur’an,
semestinya kita harus menjauh dari segala sesuatu yang ada unsur riba
nya.
Jenis-Jenis Riba
Ada dua macam kategori riba, yaitu yang muncul akibat jual-beli dan pinjam meminjam.
Jual beli
pada dasarnya merupakan akad tukar menukar barang. Jika demikian, maka
riba akan muncul jika ada tambahan baik dari segi kuantitas dari barang
yang diperjualbelikan ataupun karena penyerahan pembayaran yang ditunda.
Sebelum itu, perhatikan hadis nabi berikut
Jika
emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar
dengan gandum, syair (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan
syair, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka
jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai).
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.
Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya
sama-sama berada dalam dosa.(HR. Muslim no. 1584)
Dari hadis diatas, ada dua ketentuan yang harus dipahami :
Enam Komoditas diatas harus ditukarkan dengan takaran (timbangan dan volume) yang sama. Artinya 6 gram emas harus ditukar dengan 6 gram emas, jika kemudian 6 gram emas ditukar dengan 7 gram emas, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl karena ada penambahan takaran
Ketika melakukan pertukaran dengan 6 komoditas maka pembayarannya harus tunai dan tidak bisa non tunai (kredit). Jika non tunai, maka inilah yang dinamakan riba nasiah, karena ada penambahan tenggang waktu pembayaran
Selanjutnya, Riba terjadi dalam akad pinjam meminjam, artinya terdapat manfaat tambahan atas utang piutang pihak yang bersangkutan.
Misalnya
seorang meminjam kepada temannya sebesar satu juta, dengan persyaratan
ketika dikembalikan lebih besar dari sejuta, misalnya 1.500.000, maka
tambahan sebesar lima ratus ribu tersebut masuk kedalam kategori riba Qardh.
Riba qardh biasa dikenal dengan sistem bungan pinjaman di bank konvensional.
Kondisi
yang kedua, jika kedua pihak yang berhutang dan memberikan piutang
sepakat jika pengembalian hutang lebih dari waktu yang disepakati maka
pihak yang berhutang harus membayar denda karena ada penambahan waktu.
Ini dikenal dengan riba Jahiliyah.
Demikianlah
jeni-jenis riba yang bisa dianalisis dalam setiap praktik yang
berhubungan dengan ekonomi. Itulah sebabnya, ekonomi islam kemudian
hadir dalam rangka memberikan panduan, arahan, dan pengajaran akan
bahaya riba.
Haramnya Bunga Bank
Berbicara
tentang bunga bank memang sangat kompleks dan begitu luas cakupannya.
Saat ini dengan begitu banyaknya bank-bank konvensional, tak bisa
dipungkiri lagi bahwa metode yang digunakan dalam prosese pendanaan
(funding) dan pembiayaan (financing) adalah mengedepankan konsep bunga.
Lantas kemudian bagaimana perkembangan praktik bunga ini dan apa solusinya jika kemudian secara keseluruhan bunga bank adalah haram?
Sebelumnya mari kita perhatikan beberapa pendapat dan konsep para ahli maupun lembaga berikut
Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Di
antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu
Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf
Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom
dari Amerika, Eropa dan dunia Islam
Pendapat
diatas belum terlalu jelas memberikan penggambaran akan tingkat
keharaman bunga bank. Karena masih terdapat perbedaan dalam penentuan
keharamannya. Mari kita lihat bagaiman lembaga yang bertanggung jawab
atas kepatuhan syariah dan hukum syariah di negara kita, yaitu Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
Majelias Ulama Indonesia,
MENIMBANG :
MENIMBANG :
bahwa
umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga
(interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh)
atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga
keuangan,individu maupun lainnya;
MENGINGAT :
Firman Allah SWT, antara lain :
Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Ali’Immran
[3]: 130).
Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari
Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang
memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi
berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang
menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab :
“Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari
Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang
menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
MEMPERHATIKAN :
Pendapat
para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi
kriteria riba yang di haramkan Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST/FA`IDAH):
Bunga
(Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo
waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
Riba
adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan
dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut
Riba Nasi’ah.
Praktek
pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek
pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram
Hukumnya.
Praktek
Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank,
Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya
maupun dilakukan oleh individu.
Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
Untuk
wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan
mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan
kepada perhitungan bunga.
Untuk
wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan
Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan
konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Demikianlah
Keputusan dari MUI yang dengan sangat jelas mengharamkan bunga bank
karena merupakan bagian dari riba. Sebuah hukum dalam dunia perekonomian
secara syariah sifatnya adalah muamalah. Artinya hukum terbentuk dengan
adanya dinamika dalam masyarakat yang semakin modern. Namun demikian,
untuk masalah bunga bank yang pada dasarnya adalah riba yang memang
telah ditetapkan hukumnya oleh Allah swt dalam Alqur’an, tidak ada celah
untuk mengubahnya.
Baca juga ulasan menarik saya lainnya tentang negara terkaya di dunia dan negara terkecil di dunia.
Semoga
dengan adanya aturan yang jelas ini, kita semakin paham dan tahu akan
manfaat dan mudharatnya segala sesuatu. Akhir kata semoga artikel informasi ekonomi terkait riba ini bisa membantu banyak orang dalam memahami makna riba kontemporer.
No comments:
Post a Comment