وَالضُّحَى *
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى * مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى * وَلَلآخِرَةُ
خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى * وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى * أَلَمْ
يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى * وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى * وَوَجَدَكَ عَائِلا
فَأَغْنَى * فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ * وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا
تَنْهَرْ * وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ *
Demi waktu matahari
sepenggalahan naik. Demi malam apabila telah sunyi (gelap). Tuhanmu tidak
meninggalkan kamu dan tidak pula membenci kamu. Sesungguhnya Hari Akhir itu
lebih baik bagi kamu daripada yang sekarang (permulaan). Kelak Tuhanmu pasti
memberi kamu karunia, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapati
dirimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi kamu; mendapati dirimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberi kamu petunjuk; Dia mendapati
dirimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberi kamu kecukupan? Sebab
itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang; terhadap orang
yang minta-minta, janganlah kamu menghardik; dan terhadap nikmat Tuhanmu,
hendaklah kamu siarkan (QS ad-Dhuha [93]:
1-11)
Allah SWT berfirman: Wa
adh-dhuhâ. Ayat ini diawali dengan wâwu al-qasam. Yang
menjadi al-muqsam bih adalah al-dhuhâ. Pada asalnya, adh-dhuhâ
adalah isim untuk menunjuk waktu meningginya matahari. Ini
sebagaimana terdapat dalam QS asy-Syams [91]: 1.2 Pengertian ini pula yang
dipilih Qatadah, Muqatil, az-Zamakhsyari, an-Nasafi, al-Jazairi, dan lain-lain
dalam menafsirkan ayat ini; bahwa makna al-dhuhâ di sini adalah
waktu dhuha.3
Sebagian mufassir lain
menafsirkan adh-dhuhâ sebagai an-nahâr kulluhâ (waktu siang
secara keseluruhan). Di antara yang berpenda-pat demikian adalah Ibnu Jarir
ath-Thabari, al-Qurthubi, asy-Syaukani, al-Baghawi, dan lain-lain.4 Kesimpulan
ini didasarkan pada ayat sesudahnya: Wa al-layli idzâ sajâ. Karena dalam
ayat sesudahnya disebutkan al-layl, maka kebalikannya adalah an-nahâr
(siang). Menurut al-Qurthubi, pengertian tersebut juga terdapat dalam QS
al-A’raf [7]: 97-98.5
Ayat berikutnya masih
diteruskan dengan sumpah: Wa al-layli idzâ sajâ (Demi malam apabila
telah sunyi [gelap]). Kata sajâ berarti sakana (tenang, sunyi).
Demikian menurut Qatadah, Mujahid, Ibnu Zaid dan Ikrimah. Dikatakan laylah
sâjiyah, artinya laylah sâkinah (malam yang tenang, sunyi).6 Menurut
adh-Dhahhak, sajâ berarti ghaththâ kulla sya’i (menutupi segala
sesuatu). Ash-Ashmu’i juga mengatakan: sajuw al-layl artinya malam
menutup siang, seperti halnya baju menutupi seseorang. Al-Hasan juga
memaknainya: ghasyiya bi zhullâmihi (tertutup oleh kegelapannya).7 Semua
pengertian tersebut dapat digunakan untuk memaknai ayat ini. Sebagaimana
dinyatakan Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat ini bermakna: Wa al-layli idzâ
sakana bi ahlihi wa tsabata bi zhullâmihi (Demi malam ketika telah sunyi
oleh penghuninya dan pekat kegelapannya).8
Kemudian Allah SWT
berfirman: Mâ wadda’aka Rabbuka wa mâ qalâ (Tuhanmu tiada meninggalkan
kamu dan tiada [pula] membenci kamu). Kalimat ini merupakan jawâb al-qasam. Kata
wada’a asy-syay’ berarti tarakahu wa ahmalahu (meninggalkan dan
membiarkannya).9 Adapun at-tawdî’ merupa-kan bentuk mubâlaghah (melebihkan)
dari kata al-wad’u.10
Bukan hanya tidak
meninggalkan beliau, namun juga wa mâ qalâ. Kata qalâ berarti abghadha
(membenci).11 Bahkan menurut al-Asfahani, kata al-qaly berarti syiddat
al-bughdhi (kebencian yang besar).12 Dengan demikian ayat ini memberikan
penegasan bahwa sekali-kali Allah SWT tidak meninggalkan Rasululullah saw. dan
tidak pula membenci dirinya. Jika dikaitkan dengan sabab nuzul ayat ini,
maka ayat menolak tegas anggapan kaum kafir terhadap Rasulullah saw., sekaligus
menunjukkan betapa besarnya nikmat dan karunia Allah SWT kepada Rasul-Nya.
Namun demikian, masih
ada kenikmatan lain yang lebih besar yang akan diberikan kepada beliau. Allah
SWT berfirman: Wala al-âkhirah khayr[un] laka min al-ûlâ (Sesungguhnya
Hari Akhir itu lebih baik bagi kamu daripada yang sekarang [permulaan]). Kata al-âkhirah
menunjuk ad-dâr al-âkhirah (kehidupan akhirat), sedangkan al-ûlâ berarti
ad-dâr ad-dunyâ (kehidupan dunia). Disebut al-ûlâ karena
diciptakan sebelum al-âkhirah. Huruf al-lâm pada al-âkhirah merupakan
lâm al-ibtidâ’ al-muakkidah li madhmûn al-jumlah (huruf lâm yang
berada di awal kalimat untuk menegaskan kandungan kalimatnya).13 Digunakan
huruf kâf al-khithâb (kata ganti orang kedua, kamu) menunjuk
bahwa hal tersebut tidak berlaku bagi setiap orang. Bagi Rasulullah saw.,
kehidupan akhirat dipastikan lebih baik daripada apa yang telah beliau peroleh
di dunia.
Menurut asy-Syinqithi,
huruf min menunjukkan bahwa Allah SWT telah memberi beliau di dunia
kebaikan yang amat banyak. Akan tetapi, apa yang disediakan untuk beliau di
akhirat lebih baik dan lebih utama daripada apa yang telah diberikan di
dunia.14
Tentang ayat ini, Ibnu
Jarir ath-Thabari berkata, “Sungguh, ad-dâr al-âkhirah dan apa yang
disediakan Allah untuk kamu di sana lebih baik daripada al-dâr al-dun-yâ dan
semua isinya. Oleh karena itu, janganlah kamu bersedih terhadap apa yang lepas
di dunia. Sebab, apa yang di sisi Allah SWT itu lebih baik dari itu (kehidupan
dunia).”15
Kemudian disebutkan: Wa
lasawfa yu’thîka Rabbuka fatardhâ (Kelak Tuhanmu pasti memberikan
karunia-Nya kepada kamu, lalu [hati] kamu menjadi puas). Huruf al-lâm pada
kata lasawfa merupakan lâm al-ibtidâ’ yang masuk pada khabar. Fungsinya
untuk ta’kîd madhmûn al-jumlah (mengukuhkan kandungan kalimat). Adapun mubtada’-nya
dihilangkan. Diperkirakan kalimat aslinya: La anta sawfa yu’thîka.16
Kata sawfa dari Allah SWT adalah wajib.17 Dengan demikian ayat ini
memastikan bahwa Allah SWT akan memberikan kenikmatan besar kepada Rasulullah
saw. Atas kenikmatan tersebut, beliau pun ridha. Wahbah az-Zuhaili menuturkan,
kenikmatan besar tersebut diberikan di dunia dan akhirat. Di dunia berupa kemenangan
dalam agama. Di akhirat berupa pahala, telaga dan syafaat bagi umatnya.18
Ayat berikutnya
mengingatkan beberapa kenikmatan yang sudah diterima Rasulullah saw. sejak
awal. Allah SWT berfirman: Alam yajidka yatîm[an] fa awâ (Bukankah Dia
mendapati kamu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi dirimu)? Yatim adalah
anak sebelum balig yang ditinggal mati oleh ayahnya. Keadaan inilah yang
dialami Rasulullah saw. Beliau ditinggal ayahnya ketika masih dalam kandungan
sehingga sejak lahir beliau sudah menjadi yatim. Sekitar usia enam tahun,
ibunya meninggal. Tentu beliau amat membutuhkan perlindungan dan ri’âyah. Ditegaskan
ayat ini, bahwa Allah SWT pun memberikan âwâ kepada beliau. Pengertian
al-îwâ’ adalah dhamm asy-syay’ ilâ al-âkhar (menghimpunkan
sesuatu dengan yang lain).19 Secara lahiriah, peran ini dijalankan Abdul
Muthallib (kakeknya) yang mengasuh dirinya selama dua tahun, kemudian
dilanjutkan oleh pamannya Abu Thalib hingga beliau diangkat sebagai nabi.
Bahkan Abu Thalib terus memberikan pertolongannya dalam waktu yang lama. Oleh
karena itu, beliau tidak tampak sebagaimana layaknya anak yatim.20
Selain itu: Wa
wajadaka dhâll[an] fa hadâ (Dia mendapati dirimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia member kamu petunjuk). Kata adh-dhalâl di sini dalam
perkara ma’rifah asy-syarî’ah (pengetahuan syariah). Al-Jazairi dan
az-Zuhaili menafsirkan kata ini sebagai la ta’rifu dîn[an] walâ hud[an] (kamu
tidak mengetahui agama maupun petunjuk).21 Kemudian Allah SWT pun memberi
beliau petunjuk. Realitas ini juga diberitakan dalam QS asy-Syura [42]: 52 dan
Yusuf [12]: 3.
Dalam ayat berikutnya
Allah SWT berfirman: Wa wajadaka ‘â’il[an] fa aghnâ (Dia mendapati
dirimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberi kamu kecukupan). Kata al-‘aylah
berarti faqr (fakir). Pengertian ini seperti terdapat dalam QS
at-Taubah [9]: 28.22 Keadaan tersebut pernah menimpa Rasulullah saw.
Namun, itu tidak terus berlangsung. Sebab, Allah SWT kemudian membuat beliau
berkecukupan. Al-Baghawi mengatakan: Allah mencukupi kamu dengan harta
Khadijah, kemudian dengan ghanimah.23Dijelaskan az-Zuhaili, pengertian kaya
di sini bisa berarti al-qanâ’ah terhadap keuntungan perdagangan dan
lainnya. Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ
كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan itu adalah
kaya hati (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah
dan Ahmad dari Abu Hurairah).24
Setelah dijelaskan mengenai berbagai kenikmatan dan karunia yang diberikan, Allah SWT pun berfirman: Fa ammâ al-yatîma falâ taqhar (Sebab itu, terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang). Jika Rasulullah ketika yatim diberi perlindungan, maka sikap serupa harus dilakukan terhadap anak-anak yatim yang lain. Ada larangan berbuat taqhar terhadap mereka. Kata qahara asy-syakhsh berarti ihtaqarahu, tasallatha ‘alayhi bi azh-zhulm (memandang rendah, menguasai secara lalim).25 Al-Akhfasy, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, menafsirkan ayat ini: Lâ tusallith ‘alayhi bi zhulm wa [i]dfa’ haqqah wa a[i]dzkur yutmuka (Janganlah kamu menguasai dia secara lalim, berikanlah haknya, dan ingatlah keyatimanmu).26 Menurut as-Samarqandi, kata lâ taqhar berarti Lâ tuzhlimuhu wa [i]dfa’ haqqahu (Janganlah kamu menzalimi dia dan berikanlah haknya).27 Lebih dari itu, harus bersikap baik dan lembut terhadap mereka.
Allah SWT berfirman: Wa
ammâ as-sâ’ila falâ tanhar (terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu
menghardik). Pengertian as-sâ’il adalah orang fakir-miskin yang memiliki
kebutuhan dan meminta untuk memenuhi kekurangannya.28 Terhadap mereka
diserukan: falâ tanhar. Kata an-nahr wa al-intihâr berarti az-zajr
bi mughâlazhah (membentak dengan kasar).29 Dengan demikian pengertian lâ
tanhar, sebagaimana dinyatakan as-Samarqandi, adalah lâ tu’dzihi wa lâ
tazjurhu (jangan kamu menyakiti dan membentak dia).30 Ibnu Ishaq
menafsirkan ayat ini: Adapun kepada peminta, janganlah kamu bersikap lalim,
sombong, keji dan berkata kasar terhadap hamba Allah yang lemah.31
Surat ini diakhiri
dengan firman-Nya: Wa ammâ bini’mati Rabbika fa haddits (terhadap
nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu siarkan). Menurut Mujahid, kenikmatan yang
dimaksud adalah kenabian dan al-Quran. Maknanya, sampaikanlah perkara yang
dengan itu kamu diutus. Pendapat ini juga dipilih beberapa mufassir, seperti
as-Samarqandi.32
Sebagian lainnya,
seperti aay-Syinqithi dan al-Biqa’i berpendapat bahwa kenikmatan tersebut
bersifat umum. Semua kenikmatan yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba
berupa harta, kesehatan, hidayah serta pertolongan yang lembut dan halus
tercakup di dalamnya.33 Tampaknya pendapat ini lebih dapat diterima.
Terhadap kenikmatan
tersebut, diperintahkan untuk menceritakan kepada orang lain. Menurut Umar bin
Abdul Aziz, al-Hasan, Qatadah dan Fudhail bin ‘Iyadh, menceritakan kenikmatan
merupakan bentuk mensyukuri nikmat tersebut.3
No comments:
Post a Comment