Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam pernah menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa pernikahan adalah menyempurnakan setengah agama seorang Muslim. Ungkapan ini menegaskan bahwa pernikahan memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu Muslim dalam membentuk sebuah keluarga dimana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dan seterusnya.
Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang lebih menggambarkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhkan adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah/pernikahan dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sohibul hajat untuk menyelenggarakan walimah di luar kemampuannya.
Dan ketika fithroh agama ini dilanggar, maka perzinaan semakin subur, perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat pun menjadi bom waktu. Maka sudah saatnya bagi kita untuk menghidupkan syariat Alloh Subhanahuwata’ala, dengan mewujudkan pernikahan Islami ditengah masyarakat kita
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (hubungan suami istri).
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’
(bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat memperoleh keturunan, dan
tujuan lain yang merupakan maslahat nikah. Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (QS. an-Nisa’ [4]: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian…” (QS. al-Ma’idah [5]: 1)
Hukum Menikah/ Pernikahan dalam Islam
Hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah Rahimahulloh, Imam Malik Rahimahulloh, Asy-Syafi’I Rahimahulloh, dan riwayat yang masyhur dari mazhab al-Imam Ahmad Rahimahulloh.
Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi
pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib. Nikah ini merupakan
sunnah para Rosul.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus para rosul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak keturunan…” (QS. ar-Ro’d [13]: 38)
‘Utsman bin Mazh’un Radhiallohu’anhu,
seorang dari sahabat Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam, berkata,
“Seandainya Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam mengizinkan kami,
niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat
terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah). Akan tetapi
beliau Sholallohu’alaihi wa Sallam melarang kami dari hidup membujang
(tidak menikah).” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Bagi
seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina
bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib
karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas
melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak
mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan
kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan
nikah.
Hukumnya mubah
bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta.
Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan
baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan
menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah
syahwat atau tidak memiliki syahwat, karena usia tua atau karena impoten
misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta
atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada
istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudhorotkan si istri.
Dan haram
hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan
perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena,
menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada
tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan,
terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang
diharamkan.
Haram pula
bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah
lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara
istri-istrinya.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 3)
Demikian artikel dengan judul “Indahnya Pernikahan dalam Islam dan pengertiannya” Semoga dapat memberikan manfaat.
baguss kak
ReplyDeleteLanjutkan