Mimpi terbahagi dua: mimpi yang benar
dan yang batil. Mimpi yang benar ialah yang dialami manusia tatkala kedudukan
psikologisnya seimbang dan keadaan cuaca sedang seperti ditandai oleh
bergoyangnya pepohonan hingga berjatuhannya dedaunan. Mimpi yang benar tidak didahului
dengan adanya pikiran dan keinginan akan sesuatu yang kemudian muncul dalam mimpi.
Kebenaran mimpi juga tidak ternodai
oleh peristiwa junub dan haid. Adapun mimpi yang batil ialah yang ditimbulkan
oleh bisikan nafsu, keinginan, dan hasrat. Mimpi demikian tidak dapat
ditakwilkan. Demikian pula mimpi “basah” dan mimpi lain yang mewajibkan mandi
dikategorikan sebagai mimpi yang batil karena tidak mengandung makna. Sama halnya
dengan mimpi yang menakutkan dan menyedihkan karena berasal dari setan. Allah
Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya pembicaraan
rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang
yang beriman itu berduka cita,
sedang pembicarana itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka,
kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman
bertawakal.”(al-Mujaadilah:
10)
Jika seseorang mengalami mimpi yang
tidak disukai, disunnahkan melakukan lima
perbuatan. Yaitu, mengubah posisi
tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon
perlindungan kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak
menceritakan mimpinya kepada siapa pun.
Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi
hendaknya memelihara etika yang perlu dipegang teguh dan memiliki
batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan pentakwil.”
Etika pelaku mimpi ialah, pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasud
sebagaimana dikatakan Ya’kub kepada Yusuf,
“Ayahnya berkata, ‘Hai anakku,
janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudarasaudaramu,maka mereka
akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Yusuf:5)
Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada
orang yang bodoh. Nabi saw. bersabda,
“Janganlah kamu menceritakan
mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau
kepada orang yang pandai.”
Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali
secara rahasia karena dia pun melihatnya
secara rahasia pula. Jangan
menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan
menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat. Adapun
etika pentakwil ialah sebagai berikut.
Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi
kepadanya, maka katakanlah, “Aku kira
mimpi itu baik.”Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditakwilkan.” Juga diriwayatkan bahwabeliau bersabda, “Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah diungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam as-
Silsilah ash-Shahihah.
Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawaban yang mudah dipahami.
Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.
Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan amanat. Jangan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam.
Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara
berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja seperti menakwilkan mimpi rakyat,
sebab mimpi itu berbeda karena perbedaan kondisi
pelakunya.
Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan
kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka
takwilkanlah dan sampaikanlah kabar
gembira kepada pelakunya sebelum mimpi itu
ditakwilkan.
Jika mimpi itu buruk, maka janganlah
menakwillkannya atau takwilkanlah bagian mimpi
yang takwilnya paling baik. Jika
sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi
keburukan, maka bandingkanlah keduanya,
lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika pentakwil
mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu
takwilkannya berdasarkan namanya itu.
No comments:
Post a Comment